07 May Kakanda dan Adinda #Part5
Duduk manis diperagakan Adinda di selasar depan rumah, tegur sapa para tetangga dibalasnya dengan senyuman manis khas Adinda.
Anonim : Selamat pagi, mba Adinda.
Adinda : Selamat pagi, ibu.
Bagaikan parodi kehidupan, beragam jenis kelamin dan bentuk lalu lalang dihadapan Adinda. Ada pria dan wanita, mulai dari usia semenjana, sementara, dan secukupnya. Mereka sibuk dengan parodi kehidupannya masing-masing, disibukan oleh kebutuhan hati, otak dan perut. Dalam bingkai pagi, di hari yang di kambing hitamkan sebagai hari yang sibuk : Senin.
Bagai menelisik gemerincik hujan, dengan telaten Adinda mengamati tingkah laku manusia yang berteteran di hadapan pandangannya. Menarik, menjadi sebuah alasan Adinda melakukan pengamatan tersebut. Entah dimana letak kemenarikannya, psikologinisasi sepertinya membuat kadar rasa keingintahuannya meningkat.
Ataukah atas dasar pendapat dari Kakanda, yang memberikan pengetahuan dasar kepada Adinda mengenai cara mengenal jati diri. Melalui penelusuran terhadap kegiatan umat manusia, melalui penafisran hati yang terdalam dan penafian terhadap berbagai kemunafikan diri.
Tatar hidup yang diajarkan Kakanda berupa keris bukan pisau dapur, sama diasuh dan diasih, namun berbeda dalam pengasahannya. Agar mendapatkan kekuatan sejati, bukan melalui tempaan yang sama-sama keras, tetapi melalui tempaan yang lembut namun dapat meresap kedalam lubang pori pikiran umat manusia dan dapat dicerna menjadi perbuatan nyata.
Kembali menuju kronologi, kini Adinda berucap dalam hati.
Adinda : Hidup sangat berwarna, alangkah indahnya dunia. Bak kanvas yang ternoda oleh warna-warna berbeda, noda yang menumpuk menjadi sebuah karya. Entah lukisan menarik maupun goresan artistik, keduanya adalah cabang strata kehidupan sosial: mayoritas dan minoritas.
Tanpa terasa angin menghembuskan waktu hingga tak terasa hilangnya, hadirnya Kakanda bersama peluh keringat yang dibawanya menyadarkan Adinda dari kenikmatan dalam lamunan.
Nouer Dyn
No Comments